Indonesian and Digital Divide
Ketika
kita pergi berlibur ke salah satu daerah di Indonesia, seperti pantai yang
belum banyak dijamah oleh kebanyakan orang maka akan menimbulkan kesan yang
lebih istimewa. Oleh karenanya, kita ingin membagikannya dan memberi tahu
seluruh dunia tentang keberaan surga dunia seperti pantai indah yang saat itu
kita datangi. Kita mungkin akan menggunakan media sosial yang kita miliki untuk
menuliskan mengenai tempat itu atau mem-posting
foto yang menampakkan keindahan tempat itu. Namun hal tersebut tidak dapat
dilakukan karena tidak adanya jaringan signal
ataupun internet di tempat tersebut. Sangat berbeda dengan keadaan kita di kota
yang dengan mudah mendapat jaringan internet kapanpun dan dimanapun.
Apakah
hal tersebut berkaitan dengan istilah “digital
divide”?
Apa
yang orang pikirkan ketika mendengar istilah “digital divide”?
Kemungkinan
besar orang akan berpikir bahwa negara yang mengalami “digital divide” atau
kesenjangan digital adalah negara yang terbelakang. Ya memang benar dan tidak
dapat dipungkiri bahwa kesenjangan digital banyak terjadi di negara berkembang,
tak terkecuali Indonesia. Namun perlu diketahui bahwa fenomena ini juga tidak
luput terjadi di negara maju sekelas Amerika. Bagaimana pun juga, kesenjangan
digital di negara berkembang khususnya Indonesia berbeda dengan kesenjangan
digital di negara maju.
Kesenjangan
digital sebenarnya merupakan kendala yang memengaruhi penggunaan new media yang dikemukakan oleh Rojas Et.
Al (2004). Kesenjangan digital muncul karena variabel yang diidentifikasikan oleh
Rojas meliputi interelasi antara modal ekonomi, budaya, etnik, gender dan usia.
Sebelumnya, kesenjangan digital pertama kali diperkenalkan dalam laporan The National Telecommunication and
Information Administration (NTIA)—sebuah badan pemerintahan federal AS yang
mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi. Dalam laporannya, membagi
masyarakat dalam dua golongan yaitu mereka yang memiliki akses dan yang tak
memiliki akses pada teknologi. Kemudian Steyn Johnson (2011) menambahkan bahwa
akses tersebut tidak hanya akses fisik (infrastruktur) namun juga ekonomi,
politik, sosial, budaya, gender, etnisitas, geografis dan demografis.
Tidak
bermaksud untuk membedakan kesenjangan digital di negara maju dan negara berkembang,
tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kesenjangan digital yang
terjadi di Indonesia, yang seperti kita ketahui merupakan negara berkembang
yang mendapat banyak pengaruh dari luar. Kesenjangan digital di Indonesia
terjadi pada tiga level sekaligus, yaitu infrastruktur, sosial dan budaya.
Pertama,
kesenjangan digital dalam hal infrastruktur terkait dengan masalah infrastruktur
meliputi masalah interelasi dan ketidakmerataan ekonomi, tentang
banyak-sedikitnya orang yang dapat memiliki akses ke internet. Di Indonesia,
bukan menjadi rahasia jika keadaan ekonomi juga mengalami kesenjangan. Hal
inilah yang berdampak pada kesenjangan digital. Masyarakat menengah keatas
mungkin memiliki kesempatan yang lebih untuk dapat mengakses komputer dan
internet karena mereka mampu memiliki infrastruktur yang mendukung. Sedangkan
bagi masyarakat bawah kan kesulitan untuk mengakses (dapat disebabkan karena
ketidakmampuan masyarakat bawah) dan memiliki infrastruktur.
Sama
halnya dengan tidak meratanya infrastruktur seperti jaringan internet di
seluruh wilayah di Indonesia (seperti kasus yang diceritakan diawal).
Pemerintah dan beberapa perusahaan telekomunikasi mulai mengembangkan teknologi
4G, padahal masih ada beberapa daerah pinggiran dan terpencil yang kesulitan
untuk menemukan signal telepon biasa.
Hal ini menciptakan gap yang cukup
jauh dengan pembangunan infrastruktur komunikasi modern antara desa dan kota.
Kedua,
kesenjangan digital dalam hal sosial. Ketika teknologi baru berinteraksi dengan
masyarakat maka akan terjadi konstruksi sosial, jika ini terjadi maka
diperlukan adanya penyesuaian. Dalam perkembangannya, teknologi tidak dapat
mengabaikan untuk melibatkan sistem sosial yang ada. Untuk menyesuaikan dengan
terjadinya kontruksi sosial karena adanya interaksi antara teknologi baru
(internet) dengan masyarakat maka dapat dilihat dari hubungan nilai tambah
internet.
Hubungan
nilai tambah internet dapat meliputi e-education,
e-goverment, e-commerce, dan sebagainya. Keberadaan nilai tambah ini hanya
diketahui dan diakses oleh golongan-golongan tertntu saja atau mereka yang
memiliki kepentingan saja. Seperti e-education
yang hanya diakses oleh pelajar dan mahasiswa, e-goverment yang diakses oleh orang-orang dalam pemerintahan atau e-commerce yang di akses oleh mereka
yang melakukan bisnis online
misalnya. Namun akibatnya adalah memungkinkan terjadinya kesenjangan digital
karena masyarakat yang tidak memiliki kepentingan dengan nilai tambah dalam
internet kecil kemungkinannya untuk menggunakan dan mengakses internet.
Ketiga,
kesenjangan digital dalam hal budaya terkait dengan dimensi kognitif dan
emosional pengguna internet untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Indonesia
merupakan negara berkembang yang banyak mendapat pengaruh dari luar. Sistem
sosial dan budaya setiap negara berbeda-beda. Internet memiliki sifat yang
sangat terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja sehingga sangat memungkinkan
untuk meratakan masyarakat. Namun yang terjadi di Indonesia justru bertolak
belakang dengan kemungkinan tersebut. Masuknya teknologi baru seperti internet
di Indonesia justru kebanyakan memunculkan budaya masyarakat yang masih lebih
suka menjadikan teknologi sebagai gaya hidup : simbol status.
Disinilah
terlihat dengan jelas bagaimana internet secara sosial dan budaya mengubah
kehidupan masyarakat kita. Masalah lainnya muncul dari optimalisasi pemanfaat
internet, bagaimana dimensi kognitif dan emosional mendorong orang memilih
media tersebut untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini menjadi persoalan
dalam kesenjangan digital pada level budaya.
Kesenjangan
digital di Indonesia dapat dilihat dengan membandingkan dua golongan masyarakat
seperti yang dikategorikan oleh NTIA yaitu golongan yang memiliki akses dan
golongan yang tidak memiliki akses. Masuknya internet dibarengi dengan menjamurnya berbagai layanan internet, salah
satunya adalah youtube yang terus
berkembang hingga saat ini. Bagi mereka yang memutuskan untuk menjadi seorang youtubers, mereka akan sangat melek internet khususnya youtube, memiliki perangkat yang akan
mendukungnya menjadi seorang youtubers,
dapat mengakses dan menggunakan media baru internet. Namun golongan orang di
daerah terpencil tidak akan mampu mengakses internet. Jangankan mengakses
internet, kemungkinan besar mereka juga tidak mengenal adanya media baru, baik
perangkatnya maupun cara mengaksesnya.
Berbagai
cara untuk mengatasi masalah kesenjangan digital ini juga telah dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia. Pemerintah tengah melakukan proyek pembangunan
infrastruktur teknologi digital besar-besaran salah satunya dengan menjalankan
program Indonesia Digital Network
(IDN). Namun yang dibutuhkan masyarakat tidak hanya pembangunan infrastruktur
yang besar-besaran, walaupun hal ini terlihat seolah dapat menyelesaikan segala
masalah. Pemerintah juga perlu untuk
memperhatikan edukasi dan pemberdayaan masyarakat terkait dengan literasi
internet.
Referensi :
Lievrouw,
Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook
of New Media : Social Shaping and Social consequences of ITCs, Sage
Publication Ltd. London. Chapter 4 : “Perspective
on Internet Use : Access, Involvement and Interaction”.
Rinoza,
Renal. 2015. “Persoalan Kesenjangan Digital di Indonesia”. ----- http://www.remotivi.or.id/amatan/222/Persoalan-Kesenjangan-Digital-di-Indonesia,
Jakarta.
0 komentar