Indonesian and Digital Divide

by - 02.51

Ketika kita pergi berlibur ke salah satu daerah di Indonesia, seperti pantai yang belum banyak dijamah oleh kebanyakan orang maka akan menimbulkan kesan yang lebih istimewa. Oleh karenanya, kita ingin membagikannya dan memberi tahu seluruh dunia tentang keberaan surga dunia seperti pantai indah yang saat itu kita datangi. Kita mungkin akan menggunakan media sosial yang kita miliki untuk menuliskan mengenai tempat itu atau mem-posting ­foto yang menampakkan keindahan tempat itu. Namun hal tersebut tidak dapat dilakukan karena tidak adanya jaringan signal ataupun internet di tempat tersebut. Sangat berbeda dengan keadaan kita di kota yang dengan mudah mendapat jaringan internet kapanpun dan dimanapun.
Apakah hal tersebut berkaitan dengan istilah “digital divide”?
Apa yang orang pikirkan ketika mendengar istilah “digital divide”?
Kemungkinan besar orang akan berpikir bahwa negara yang mengalami digital divide” atau kesenjangan digital adalah negara yang terbelakang. Ya memang benar dan tidak dapat dipungkiri bahwa kesenjangan digital banyak terjadi di negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Namun perlu diketahui bahwa fenomena ini juga tidak luput terjadi di negara maju sekelas Amerika. Bagaimana pun juga, kesenjangan digital di negara berkembang khususnya Indonesia berbeda dengan kesenjangan digital di negara maju.
Kesenjangan digital sebenarnya merupakan kendala yang memengaruhi penggunaan new media yang dikemukakan oleh Rojas Et. Al (2004). Kesenjangan digital muncul karena variabel yang diidentifikasikan oleh Rojas meliputi interelasi antara modal ekonomi, budaya, etnik, gender dan usia. Sebelumnya, kesenjangan digital pertama kali diperkenalkan dalam laporan The National Telecommunication and Information Administration (NTIA)—sebuah badan pemerintahan federal AS yang mengurusi bidang telekomunikasi dan informasi. Dalam laporannya, membagi masyarakat dalam dua golongan yaitu mereka yang memiliki akses dan yang tak memiliki akses pada teknologi. Kemudian Steyn Johnson (2011) menambahkan bahwa akses tersebut tidak hanya akses fisik (infrastruktur) namun juga ekonomi, politik, sosial, budaya, gender, etnisitas, geografis dan demografis.
Tidak bermaksud untuk membedakan kesenjangan digital di negara maju dan negara berkembang, tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kesenjangan digital yang terjadi di Indonesia, yang seperti kita ketahui merupakan negara berkembang yang mendapat banyak pengaruh dari luar. Kesenjangan digital di Indonesia terjadi pada tiga level sekaligus, yaitu infrastruktur, sosial dan budaya.
Pertama, kesenjangan digital dalam hal infrastruktur terkait dengan masalah infrastruktur meliputi masalah interelasi dan ketidakmerataan ekonomi, tentang banyak-sedikitnya orang yang dapat memiliki akses ke internet. Di Indonesia, bukan menjadi rahasia jika keadaan ekonomi juga mengalami kesenjangan. Hal inilah yang berdampak pada kesenjangan digital. Masyarakat menengah keatas mungkin memiliki kesempatan yang lebih untuk dapat mengakses komputer dan internet karena mereka mampu memiliki infrastruktur yang mendukung. Sedangkan bagi masyarakat bawah kan kesulitan untuk mengakses (dapat disebabkan karena ketidakmampuan masyarakat bawah) dan memiliki infrastruktur.
Sama halnya dengan tidak meratanya infrastruktur seperti jaringan internet di seluruh wilayah di Indonesia (seperti kasus yang diceritakan diawal). Pemerintah dan beberapa perusahaan telekomunikasi mulai mengembangkan teknologi 4G, padahal masih ada beberapa daerah pinggiran dan terpencil yang kesulitan untuk menemukan signal telepon biasa. Hal ini menciptakan gap yang cukup jauh dengan pembangunan infrastruktur komunikasi modern antara desa dan kota.
Kedua, kesenjangan digital dalam hal sosial. Ketika teknologi baru berinteraksi dengan masyarakat maka akan terjadi konstruksi sosial, jika ini terjadi maka diperlukan adanya penyesuaian. Dalam perkembangannya, teknologi tidak dapat mengabaikan untuk melibatkan sistem sosial yang ada. Untuk menyesuaikan dengan terjadinya kontruksi sosial karena adanya interaksi antara teknologi baru (internet) dengan masyarakat maka dapat dilihat dari hubungan nilai tambah internet.
Hubungan nilai tambah internet dapat meliputi e-education, e-goverment, e-commerce, dan sebagainya. Keberadaan nilai tambah ini hanya diketahui dan diakses oleh golongan-golongan tertntu saja atau mereka yang memiliki kepentingan saja. Seperti e-education yang hanya diakses oleh pelajar dan mahasiswa, e-goverment yang diakses oleh orang-orang dalam pemerintahan atau e-commerce yang di akses oleh mereka yang melakukan bisnis online misalnya. Namun akibatnya adalah memungkinkan terjadinya kesenjangan digital karena masyarakat yang tidak memiliki kepentingan dengan nilai tambah dalam internet kecil kemungkinannya untuk menggunakan dan mengakses internet.
Ketiga, kesenjangan digital dalam hal budaya terkait dengan dimensi kognitif dan emosional pengguna internet untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Indonesia merupakan negara berkembang yang banyak mendapat pengaruh dari luar. Sistem sosial dan budaya setiap negara berbeda-beda. Internet memiliki sifat yang sangat terbuka dan dapat diakses oleh siapa saja sehingga sangat memungkinkan untuk meratakan masyarakat. Namun yang terjadi di Indonesia justru bertolak belakang dengan kemungkinan tersebut. Masuknya teknologi baru seperti internet di Indonesia justru kebanyakan memunculkan budaya masyarakat yang masih lebih suka menjadikan teknologi sebagai gaya hidup : simbol status.
Disinilah terlihat dengan jelas bagaimana internet secara sosial dan budaya mengubah kehidupan masyarakat kita. Masalah lainnya muncul dari optimalisasi pemanfaat internet, bagaimana dimensi kognitif dan emosional mendorong orang memilih media tersebut untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini menjadi persoalan dalam kesenjangan digital pada level budaya.
Kesenjangan digital di Indonesia dapat dilihat dengan membandingkan dua golongan masyarakat seperti yang dikategorikan oleh NTIA yaitu golongan yang memiliki akses dan golongan yang tidak memiliki akses. Masuknya internet dibarengi dengan menjamurnya berbagai layanan internet, salah satunya adalah youtube yang terus berkembang hingga saat ini. Bagi mereka yang memutuskan untuk menjadi seorang youtubers, mereka akan sangat melek internet khususnya youtube, memiliki perangkat yang akan mendukungnya menjadi seorang youtubers, dapat mengakses dan menggunakan media baru internet. Namun golongan orang di daerah terpencil tidak akan mampu mengakses internet. Jangankan mengakses internet, kemungkinan besar mereka juga tidak mengenal adanya media baru, baik perangkatnya maupun cara mengaksesnya.
Berbagai cara untuk mengatasi masalah kesenjangan digital ini juga telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah tengah melakukan proyek pembangunan infrastruktur teknologi digital besar-besaran salah satunya dengan menjalankan program Indonesia Digital Network (IDN). Namun yang dibutuhkan masyarakat tidak hanya pembangunan infrastruktur yang besar-besaran, walaupun hal ini terlihat seolah dapat menyelesaikan segala masalah.  Pemerintah juga perlu untuk memperhatikan edukasi dan pemberdayaan masyarakat terkait dengan literasi internet.

Referensi :
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Media : Social Shaping and Social consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 4 : “Perspective on Internet Use : Access, Involvement and Interaction”.


Rinoza, Renal. 2015. “Persoalan Kesenjangan Digital di Indonesia”. ----- http://www.remotivi.or.id/amatan/222/Persoalan-Kesenjangan-Digital-di-Indonesia, Jakarta.

You May Also Like

0 komentar